Rabu, 16 Mei 2012

Surau Kami


Kau yang bersuara di pintu malam.
Kau yang bersuara di antara penghujung mimpi.
Kau yang bersuara di tegaknya mentari.
Kau yang bersuara di antara penutup hari.
Kau yang bersuara di tengah kedurjanaan.
Kau bersuara di antara tipu daya dunia.
Kau yang bersuara dalam kesunyian.
Kau yang bersuara di jalan yang terang.
Kau yang bersuara surau kami.

BUNGA


Di ladang itu aku merebah jiwa yang letih kan dunia hampa ini, melepas jubah kepenatan yang menyelimuti tubuhku yang hanya dibungkus dengan selembar kulit berwarna kecoklatan menandakan kerasnya kerikil yang tlah dilalui ruang waktu. Kunikmati nyanyian angin yang menyelusup daun telingaku, dengan melodi kerinduan yang berirama bersama tutur kebijakan tentang dunia fana. Oh.....betapa indahnya hidup dalam buaian kepalsuan dan ketenangan yang terangkul dalam topeng sang aktor alam.
Berselang waktu beranjak, melodi kerinduan mulai menuai isak tangis yang menusuki kepalaku, ada sesuatu yang menorehkan kepedihan dan pengkhianatan. Kupandangi sekeliling, dan mataku melihat sosok anggun terkulai tak berdaya. Terketuk pintu qalbu menaruh haru yang menderu, memaksa jiwaku beridiri mendekapnya. Ia memakai gaun merah muda bak ratu yang di buang rakyatnya, harum pesona keanggunannya menyebar dalam pikiran kelelakianku. Kulangkahkan kaki mendekat padanya, lalu aku mulai melontarkan tutur kata, “duhai dikau bunga yang anggun, gerangan apa yang dikau curahkan hingga wajah anggun terkulai layu dalam tetesan duka?”, namun sosok anggun itu hanya mendekap isak tangisnya yang larut dalam buaian air mata.
Ku lontarkan kembali kata demi kata yang membelit pikiranku.
“Wahai dikau sosok yang anggun, lihatlah rumput di bawahmu itu, apakah dikau tak ibah padanya terhadap tetesan lukamu yang menimpanya?”
“Lihatlah di atas wahai sosok yang anggun, apakah dikau tak merasa malu mendengar tawa sang awan yang mencomoohkan perihmu?”
“Apa yang kau tautkan dalam tetes air matamu itu duhai sosok yang anggun?”
“Bolehkah daku menyingkap kepedihan yang dibalut dengan wajah anggun nan semerbak wewangian yang menggelantungi di jiwamu?”
Tapi, mulut tipis yang terbalut dengan lapis pelangi senja itu masih tetap membungkam. Aku bertanya pada diriku sendiri tentang kepedihan yang membalut sosok anggun tersebut. Resah bercampur iba menggelantungi pikiranku. Tidak lam kemudian bibir mungil yang terbalut pelangi itu mulai membuka, ia berkata “apakah bunga diciptakan untuk kumbang?”
“Apakah sang kumbang benar diciptakan untuk bunga?”               
“Apakah bunga dilahirkan untuk dihisap sang kumbang?”
“Apakah kumbang dilahirkan untuk menghisap bunga?”
“Apakah bunga dimekarkan untuk digoda dan dicampakkan sang kumbang?”
“Apakah kumbang diterbangkan untuk menggoda dan mencampakkan bunga?”
“Apakah bunga harus layu setelah sang kumbang dapatkan madu?”
“Apakah kumbang harus ingkar setelah bunga tak lagi mekar?”
Jiwaku terdiam membatu, pikiranku seakan tidak mempunyai jalan untuk pulang ke pangkuannya. Yang terucap hanyalah binar mata yang mengetuk qalbu yang paling dalam. Aku tahu apa yang membaluti tetes air matanya itu, dan ia tahu apa yang menyelimuti tutur kataku. Aku merasakan kepedihan itu, kepedihan yang ditinggalkan sebagai bekal kehidupan, kepedihan yang menyisakan tetes air yang keluar melewati sehelai sayatan belati, kepedihan yang merobohkan naluri keanggunan sekuntum bunga.
Tiba-tiba mentari diselimuti kegelapan menyapa dengan tangisan alam, ia hendak berkata bahwa ia akan membasuh duka yang telah menyelubungi jiwanya yang anggun dan menempatkan kembali pada kekasihnya, sampai pada waktu yang kan memetik aroma keanggunan, keanggunan yang membuai lembut jiwa yang sepi.

Minggu, 01 Januari 2012

Rintik Hujan di Halamanku


Halaman rumah yang bertuliskan cerita kepahitan kita, pondok yang menyimpan kesakitan kita, langit yang melukiskan senyuman kita, hujan yang menuai tangisan kita, dan sebuah wajah yang tersembunyi di balik tanah yang merindukan kita.
Ingatkah kau ketika mendatangkan rintik hujan dari langit, ketika itu usiaku masih mengenal pembagian dari sederatan jumlah ekor bebek. Tubuhku kecil, kurus, bermuka hitam, dan badanku agak sedikit membungkuk. Saat itu aku hanya berteman dengan wanita yang melahirkan ibunda tercinta yang berkulit keriput, bermuka kusam, bertubuh menunuduk menunjukkan betapa ia menghargai kehidupan ini. Walaupun demikian begitu, aku menyayanginya. Aku berdiri di jendala rumah, meratapi hujan yang berjatuhan menimpa rumput yang berdiri di halaman. Derai hujan membawaku kepada seseorang yang jauh dikala itu. Seseorang yang sangat kucintai sampai desahan nafas terakhirku. Aku terbawa arus yang deras hingga hatiku tenggelam dalam riak hujan yang menggoresi tiap bilik-biliknya.
Aku bertanya pada setiap rintik hujan yang jatuh di depanku, “duhai kau rintik hujan, dapatkah kau membawa daku kedalam pelukannya? Daku ingin sekali melihat senyumnya, daku ingin sekali memegang tangannya yang kasar karena tergores oleh susuap nasi untukku, daku ingin sekali mendekapnya, merasakan kehangatan jiwanya yang membara meleburkan kedinginan dan kehampaan daku, daku ingin sekali mengecup keningnya yang terus memikirkan kehidupan daku! Apakah kau bersedia duhai rintik hujan?.” Berulang kali aku bertanya kepada rintik hujan, namu tak ada satupun yang menggubris apa yang ku tuturkan, yang kudapatkan hanyalah kesepian dan kehampaan. Aku kecewa kepada rintik hujan yang tak mampu dan tak menghargai setiap tutur kata yang ku lontarkan, padahal aku berharap betul rintik hujan kan membawaku melihat senyumnya. Ku angkat kepala dan mataku ke atas, dan hanyalah gumpalan awan hitam yang nampak dimataku beserta rintik hujan. Hatiku berujar, tidak mungkin awan hitam kan menjawab dan mengabulkan permohonanku, karena rintik hujan pun tak mau mendengarkanku, apalagi awan hitam. Ku tarik kembali mataku sembari melototi di sekeliling, namun tak ada satu orang pun yang menampakkan mukanya karena mungkin takut akan terkena hujaman rintik hujan. Dan matakupun kembali menunduk kebawah melihati rintik hujan yang jatuh menimpa tubuh dedaunan. Aku berpikir, mungkinkah dedaunan mampu membawaku ke pelukannya, ah. . . tidak mungkin dedaunan mampu membawaku, sedangkan saja ia tak pernah melangkahkan kakinya. Aku kecewa terhadap apa yang ada di hadapanku di kala itu. Yang kudapatkan hanyalah jawaban diam dari semuanya.
Tidak lama kemudian rintik hujan mulai melepaskan sayapnya satu-persatu. Ia mulai melangkahkan kakinya menuju sungai dan berjalan ke laut lepas hingga sayapnya tumbuh dan kembali lagi terbang menjadi gumpalan awan hitam hingga terjatuh kembali di atas halamanku. Aku masih menatapi halamanku. Rerumputan nampak menghijau bak dijilati anjing kelaparan, dedaunan mulai menari-nari mengikuti alunan musik yang dimainkan angin. Bunga yang tadinya layu karena siksaan sang mentari sudah mampu berdiri dengan keangkuhannya menebarkan pesona dan semerbak keharuman yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Mentari yang tadinya ikut bersembunyi mulai menampakkan wajahnya yang berseri-seri kegirangan karena awan hitam beserta rintik hujan telah pergi. Dan riuh burung mulai mengiringi alunan musik alam, membuat kegaduhan yang mendayu menempeli hatiku yang tergoreskan karena rintik hujan.
Oh tuhan, alangkah indah dunia ini. Andaikan ia berada disampingku. Betapa aku kan menikmati keindahan yang kau perankan lewat aktor-aktor alamMu.
Berbinar mataku, sehingga seekor semut mampu melihat dirinya yang mungil itu tersesat dalam kesendirian. Hatiku merasakan kepiluan yang mendalam, pilu yang merengkul kesepian, pilu yang menghadirkan rintik hujan dimataku, pilu yang mendawai dalam anganku.
Aku kan tetap menunggu engkau duhai rintik hujan, aku masih memiliki harapan bagimu. Bersama rerumputan yang mengering, daku kan menantimu. Bersama bunga yang layu, daku kan mengharapmu. Bersama dedaunan yang semakin merunduk, daku menaruh impian. Bersama riuh angin yang terus mencari tempat berteduh, daku kan mencarimu. Bersama kicau burung yang meluluhlantakkan kesepian, daku kan bertutur padamu. Dan bersama mentari dari fajar merekah hingga berganti sang dewi malam yang menghadirkan gelap gulita yang menyelimuti pondokku, daku kan tetap disini. Sampai jumpa duhai kau sahabat kerinduanku.

Jumat, 23 Desember 2011

PENANTIAN DI UJUNG SUBUH


Jiwaku terbaring menatap awan putih yang berarak-arakan mengiringi mereka yang berjalan di tanah yang bernyawa. Di atas rumput yang sedari tadi menahan punggung dan pundakku yang hendak berdiri di atasnya, mataku dipaksa melihat apa yang terjadi di atas sana. Ku perhatikan satu-persatu awan yang berjalan mengiringi pengantin di atas sana, dan tak ada satu pun dari mereka yang menghardikku. Anak-anak angin pun tak ingin ketinggalan. Mereka berlari berkeliaran di antara jiwa-jiwa yang mengambang antara kehampaan dan kebisingan.
Lama diriku terbaring di sini, hingga tanganku tak terasa lagi akan sentuhanNya. Mataku menggeliat tak karuan, dan ia bebas berkeliaran di antara pikiran dan anganku. Dan seketika pikiranku terhenti pada suatu pondok yang usianya hampir keriput seperti pemiliknya. Mataku tertuju pada anak kecil yang duduk di depan jendela gubuk itu yang sedang menatap tetes hujan yang berjatuhan menusuki tanah yang tak berkutik. Entah apa yang menyelimuti angannya, yang jelas anak itu memeliki suatu beban yang menggantungi nalarnya. Dan saya tahu persis hari-harinya selalu diliputi dengan keburaman. Di waktu itu ia hanya berteman dengan perempuan yang renta, yang menjadi pelipur lara dikala ia meringkik, menjadi sang penghapus dahaga dikala ia merindu kasih, menjadi penerang dikala ia tersesat dalam lubang kehampaan.
Anak kecil itu sudah beberapa bulan di tinggal oleh ke dua orang tuanya yang pergi ke kota untuk menyembuhkan penyakit yang mendera ayahnya. Ayahnya memiliki penyakit yang belum di ketahui, tapi menurut doktor ayahnya terkena radang paru-paru. Namun, lain lagi yang di katakan oleh beberapa dukun, ayahnya dikatakan telah diteluh oleh seseorang yang memang sudah bermasalah dengan ayahnya.
Anak itu bermata sipit, memiliki hidung yang menjulang tinggi membelah awan hitam, bibir yang tak begitu lebar dengan dagu yang terbelah, pipi yang sedikit memperlihatkan ketajamannya terhadap kehidupan, dan alis yang begitu menyeruat hingga semut pun dapat terseset jika menelusurnya. Bertubuh kecil, berkulit hitam yang menyelimuti seluruh jiwanya, dengan sedikit daging yang menempel dari tulang yang kelihatan kerakusannya.
Saya kembali menatap langit yang menghadirkan subuh yang hendak merekah dari kuncupnya. Laki-laki kecil dan wanita renta itu sedang menikmati alam mimpi pada sebuah kamar yang tak begitu luas dan sedikit nyaman untuk seukuran pondok yang sudah keriput. Didalam kamar terdapat kasur kapuk dan bantal guling yang berlukiskan wajah kepenatan hari. Tiba-tiba, samar-samar terdengar pada telinga laki-laki keci itu seseorang yang memanggil wanita tua yang berada di sampingnya. Namun, karena terbawa arus mimpi, laki-laki kecil itu tidak begitu menggubris apa yang di tangkap telinganya. Sesaat wanita tua renta itu membuka matanya dan segera berangkat dari kasur yang menghangatkan tubuhnya yang sudah goyah. Dengan gontainya ia berdiri merangkak dari kasur menuju suara yang di tangkap telinganya. Treeeeeeeetttttt.................... terdengar suara pintu di buka. Dan ketika itu..........
Mataku berembun, dan tidak lama kemudian embun itu merekah dan melahirkan tetes embun yang begitu pelannya mengalir disetiap jengkal pipiku yang tajam. Bibirku pun tak dapat menahannya. Yang ku rasa hanyalah hampa, kesendirian, kepengapan hidup, dan penantian yang berujung duka.
Angin terhenti, subuh terasa panjang, kedinginan menyelimuti qalbu, embun pagi tlah berjatuhan, dan mentari tak kan dapat menghangatkan lagi. Terasa sekali berjuta-juta jarum menusuki hati yang kecil. Apa yang di inginkaNya? Nafasku tak mampu lagi bergerak mengaliri tubuhku.
Subuh ini memanggilku dengan kebengisannya. Menundukkan dedaunan yang sedari dulu berdiri tegak. Kuharap mentari tak kan lahir, dan aku takkan berhenti menuangkan anggur yang telah kau teteskan.
Kakiku melangkah sendiri, tak ada angin yang mengiringi, mereka menjauh dariku. Aku terhenyak ketika wanita tua itu bertutur padaku. Oh tuhan, aku ingin mendekapnya sekali lagi, aku ingin melihat senyumnya, aku ingin melihat matanya, aku ingin mengecup keningnya, aku ingin ia selalu membacakan dongeng untukku.
Tuhan, sanggupkah kakiku melangkah, sanggupkah diriku bertemu dengannya, sanggupkah aku mengulurkan tanganku untuknya.
Kini, tak kan ada lagi senyummu, tak kan ada lagi dongengmu, tak kan ada lagi jiwa yang menerangi langkahku. Syair kematianmu kan bersemayam dalam qalbuku, dan qalbuku kan melantunkan tuturmu yang gentayangan dalam asaku.
Wanita renta itu bertutur dengan lantang yang melahirkan tetesan embun yang merekah dari cahaya yang redup, dan anak kecil itu hanya mampu terdiam, diam yang menyimpan sejuta kata yang hendak menyeruak membelah belantara jiwanya yang bergemuruh bak badai yang menerjang tubuhnya yang mungil itu.
“Ayahmu tlah meninggal”.................
Penantianku sirna. Dalam embun pagi diriku mendekap sekuntum tangis. Aku menunggu pelangi itu mekar dari badai, tapi yang ada hanyalah gulungan ombak dari samudra yang menghantam dan menerjang tubuh yang mungil. Ku sadari pelangi itu tak kan dapat ku lihat kembali, karna badai telah mengambil semuanya. Tak ada yang tersisa, terkucuali qalbu yang mengecut, mengering, dan pecah berhamburan di atas subuh yang memudar. Tanganku tak mampu meraih puing-puing qalbukku yang terhempas, kakiku tak mampu berdiri tegar menghadang hempasan angin, dan mataku tak mampu menahan kepedihan yang mendalam.
Tersentak jiwaku dalam buaian nirwana, dan mentari yang menyerang mataku dengan sinarnya membuatku tersadar bahwa dunia kita telah berbeda. Aku kembali dalam duniaku, dan engkau, pelangiku, tetaplah dalam jiwa yang merindumu.
Ayah, embun di subuh merekah kan mekar kembali, dan genggamlah mentari yang kan bersinar. Kaki ini kan terus melangkah mengiringi nisanmu yang mengering, melalui dedaunan yang jatuh pada pusarmu, aku kan mengirim do’aku untukmu. Dampingilah aku dalam buaian tidurmu, maka kan kau tunjukkan diriku jalan menuju pintumu.

By Aang Adyta

Kamis, 22 Desember 2011

MATA

mata itu mata yang pilu
mta yang menyentuh kudukku
mata yang penuh ratapan kebisuan yang hampa
mata yang penuh cinta yang tak terangkul
mata yang tetap melangkah dalam kesendirian
mata yang merajut kepiluan yang menyayat qalbu

kepada tangan berpeluh yang diujung kematian
kepada mata pengharapan yang meninggi di atas ubun
kepada seraut angan yang bersuka cita

peganglah diriku dengan mata yang redup
rasakanlah getaran melodi kepedihanku
rasakanlah alunan nada yang menguras peluhmu
rasakanlah pelangi yang terusik

pedih tanganmu membasuh debu
remuk sendimu meringis rindu
lirih nafsumu meraup pilu
gontai sukmamu menjelma qalbu

dunia tak kan selamanya menangis saudaraku
air telah turun dari atas sana, dan kita kan tetap dalam menengadah padanya.

By Aang Adyta

Jendela KamarKu

Jendela kecil membuka jalan mataku.
cahaya rembulan tersesat mencari kekasihnya dibalik tirai kamarku.
Di sini ia menemukan kehampaan duniaku.
dan duniaku hendak bersembunyi di balik kepengapan malamku.
kamarku tetap tersenyum pada rembulan itu.
.
seketika di kamar ini ia menemukan masa laluku dibawah ranjangku.
dan aku terperongak kosong membasuh asaku akan dunia kecilku yang sunyi.
rembulan pun memeras air mata sendu karna terhalangi awan hitam yang membawa duka bagiku.
dan ayahku menatap kosong dalam kamar sesak ini lewat langit kamarku.
dan ibu pun terhenyak dalam kediaman yang membuai mesra telapak kakinya.
dan aku pun masih tetap terbaring di kasur yang goyah kan duniamu dan duniaku ini.

By Aang Adyta