Enk
Kamis, 13 Juni 2013
Rabu, 16 Mei 2012
Surau Kami
Kau yang bersuara di pintu malam.
Kau yang bersuara di antara penghujung mimpi.
Kau yang bersuara di tegaknya mentari.
Kau yang bersuara di antara penutup hari.
Kau yang bersuara di tengah kedurjanaan.
Kau bersuara di antara tipu daya dunia.
Kau yang bersuara dalam kesunyian.
Kau yang bersuara di jalan yang terang.
Kau yang bersuara surau kami.
BUNGA
Di ladang itu aku
merebah jiwa yang letih kan dunia hampa ini, melepas jubah kepenatan yang
menyelimuti tubuhku yang hanya dibungkus dengan selembar kulit berwarna
kecoklatan menandakan kerasnya kerikil yang tlah dilalui ruang waktu. Kunikmati
nyanyian angin yang menyelusup daun telingaku, dengan melodi kerinduan yang
berirama bersama tutur kebijakan tentang dunia fana. Oh.....betapa indahnya
hidup dalam buaian kepalsuan dan ketenangan yang terangkul dalam topeng sang
aktor alam.
Berselang waktu beranjak,
melodi kerinduan mulai menuai isak tangis yang menusuki kepalaku, ada sesuatu
yang menorehkan kepedihan dan pengkhianatan. Kupandangi sekeliling, dan mataku
melihat sosok anggun terkulai tak berdaya. Terketuk pintu qalbu menaruh haru
yang menderu, memaksa jiwaku beridiri mendekapnya. Ia memakai gaun merah muda
bak ratu yang di buang rakyatnya, harum pesona keanggunannya menyebar dalam
pikiran kelelakianku. Kulangkahkan kaki mendekat padanya, lalu aku mulai
melontarkan tutur kata, “duhai dikau bunga yang anggun, gerangan apa yang dikau
curahkan hingga wajah anggun terkulai layu dalam tetesan duka?”, namun sosok
anggun itu hanya mendekap isak tangisnya yang larut dalam buaian air mata.
Ku lontarkan
kembali kata demi kata yang membelit pikiranku.
“Wahai dikau
sosok yang anggun, lihatlah rumput di bawahmu itu, apakah dikau tak ibah
padanya terhadap tetesan lukamu yang menimpanya?”
“Lihatlah di atas
wahai sosok yang anggun, apakah dikau tak merasa malu mendengar tawa sang awan
yang mencomoohkan perihmu?”
“Apa yang kau
tautkan dalam tetes air matamu itu duhai sosok yang anggun?”
“Bolehkah daku
menyingkap kepedihan yang dibalut dengan wajah anggun nan semerbak wewangian
yang menggelantungi di jiwamu?”
Tapi, mulut tipis
yang terbalut dengan lapis pelangi senja itu masih tetap membungkam. Aku
bertanya pada diriku sendiri tentang kepedihan yang membalut sosok anggun
tersebut. Resah bercampur iba menggelantungi pikiranku. Tidak lam kemudian
bibir mungil yang terbalut pelangi itu mulai membuka, ia berkata “apakah bunga
diciptakan untuk kumbang?”
“Apakah sang kumbang benar diciptakan untuk bunga?”
“Apakah bunga
dilahirkan untuk dihisap sang kumbang?”
“Apakah kumbang
dilahirkan untuk menghisap bunga?”
“Apakah bunga
dimekarkan untuk digoda dan dicampakkan sang kumbang?”
“Apakah kumbang
diterbangkan untuk menggoda dan mencampakkan bunga?”
“Apakah bunga
harus layu setelah sang kumbang dapatkan madu?”
“Apakah kumbang
harus ingkar setelah bunga tak lagi mekar?”
Jiwaku terdiam
membatu, pikiranku seakan tidak mempunyai jalan untuk pulang ke pangkuannya.
Yang terucap hanyalah binar mata yang mengetuk qalbu yang paling dalam. Aku
tahu apa yang membaluti tetes air matanya itu, dan ia tahu apa yang menyelimuti
tutur kataku. Aku merasakan kepedihan itu, kepedihan yang ditinggalkan sebagai
bekal kehidupan, kepedihan yang menyisakan tetes air yang keluar melewati
sehelai sayatan belati, kepedihan yang merobohkan naluri keanggunan sekuntum
bunga.
Tiba-tiba mentari
diselimuti kegelapan menyapa dengan tangisan alam, ia hendak berkata bahwa ia
akan membasuh duka yang telah menyelubungi jiwanya yang anggun dan menempatkan
kembali pada kekasihnya, sampai pada waktu yang kan memetik aroma keanggunan,
keanggunan yang membuai lembut jiwa yang sepi.
Minggu, 01 Januari 2012
Rintik Hujan di Halamanku
Halaman rumah yang bertuliskan cerita kepahitan
kita, pondok yang menyimpan kesakitan kita, langit yang melukiskan senyuman kita, hujan yang menuai
tangisan kita, dan sebuah wajah yang tersembunyi di balik tanah yang merindukan kita.
Ingatkah kau ketika mendatangkan rintik hujan dari langit, ketika itu usiaku masih mengenal pembagian dari
sederatan jumlah ekor bebek. Tubuhku kecil, kurus, bermuka hitam, dan badanku
agak sedikit membungkuk. Saat itu aku hanya berteman dengan wanita yang
melahirkan ibunda tercinta yang berkulit keriput, bermuka kusam, bertubuh
menunuduk menunjukkan betapa ia menghargai kehidupan ini. Walaupun demikian
begitu, aku menyayanginya. Aku berdiri di jendala rumah, meratapi hujan yang
berjatuhan menimpa rumput yang berdiri di halaman. Derai hujan membawaku kepada seseorang yang jauh dikala itu. Seseorang yang sangat
kucintai sampai desahan nafas terakhirku. Aku terbawa arus yang deras hingga hatiku tenggelam dalam riak hujan yang menggoresi tiap
bilik-biliknya.
Aku bertanya pada setiap rintik hujan yang jatuh di depanku, “duhai kau rintik
hujan, dapatkah kau membawa daku kedalam pelukannya?
Daku ingin sekali melihat senyumnya, daku ingin sekali memegang tangannya yang
kasar karena tergores oleh susuap nasi untukku, daku ingin sekali mendekapnya,
merasakan kehangatan jiwanya yang membara meleburkan kedinginan dan kehampaan
daku, daku ingin sekali mengecup keningnya yang terus memikirkan kehidupan daku!
Apakah kau bersedia duhai rintik hujan?.” Berulang kali aku bertanya kepada rintik hujan, namu tak ada satupun yang menggubris apa yang ku tuturkan, yang
kudapatkan hanyalah kesepian dan kehampaan. Aku kecewa kepada rintik hujan yang tak mampu dan tak menghargai setiap tutur kata yang ku lontarkan,
padahal aku berharap betul rintik hujan kan membawaku melihat senyumnya. Ku angkat
kepala dan mataku ke atas, dan hanyalah gumpalan
awan hitam yang nampak dimataku
beserta rintik hujan. Hatiku berujar, tidak mungkin awan
hitam kan menjawab dan mengabulkan permohonanku,
karena rintik hujan pun tak mau mendengarkanku, apalagi awan
hitam. Ku tarik kembali mataku sembari melototi di
sekeliling, namun tak ada satu orang pun yang menampakkan mukanya karena
mungkin takut akan terkena hujaman rintik
hujan. Dan matakupun kembali menunduk kebawah melihati
rintik hujan yang jatuh menimpa tubuh dedaunan. Aku berpikir, mungkinkah dedaunan mampu membawaku ke pelukannya, ah. . . tidak mungkin dedaunan mampu membawaku, sedangkan saja ia tak pernah melangkahkan kakinya. Aku
kecewa terhadap apa yang ada di hadapanku di kala itu. Yang kudapatkan hanyalah
jawaban diam dari semuanya.
Tidak lama kemudian rintik hujan mulai melepaskan sayapnya satu-persatu. Ia mulai melangkahkan kakinya
menuju sungai dan berjalan ke laut lepas hingga sayapnya tumbuh dan kembali lagi
terbang menjadi gumpalan awan hitam hingga terjatuh kembali di atas halamanku. Aku
masih menatapi halamanku. Rerumputan nampak menghijau bak dijilati anjing kelaparan, dedaunan mulai menari-nari mengikuti alunan musik yang dimainkan angin. Bunga yang tadinya layu karena siksaan sang mentari sudah mampu berdiri dengan
keangkuhannya menebarkan pesona dan semerbak keharuman yang menyelimuti seluruh
tubuhnya. Mentari yang tadinya ikut bersembunyi mulai menampakkan
wajahnya yang berseri-seri kegirangan karena awan
hitam beserta rintik
hujan telah pergi. Dan riuh burung mulai mengiringi alunan musik alam, membuat kegaduhan yang mendayu
menempeli hatiku yang tergoreskan karena rintik
hujan.
Oh tuhan, alangkah indah dunia ini. Andaikan ia
berada disampingku. Betapa aku kan menikmati keindahan yang kau perankan lewat
aktor-aktor alamMu.
Berbinar mataku, sehingga seekor semut mampu melihat dirinya yang mungil itu tersesat dalam kesendirian. Hatiku
merasakan kepiluan yang mendalam, pilu yang merengkul kesepian, pilu yang
menghadirkan rintik hujan dimataku, pilu yang mendawai dalam anganku.
Aku
kan tetap menunggu engkau duhai rintik hujan,
aku masih memiliki harapan bagimu. Bersama rerumputan
yang mengering, daku kan menantimu. Bersama bunga
yang layu, daku kan mengharapmu. Bersama dedaunan
yang semakin merunduk, daku menaruh impian. Bersama riuh angin
yang terus mencari tempat berteduh, daku kan mencarimu. Bersama kicau burung
yang meluluhlantakkan kesepian, daku kan bertutur padamu. Dan bersama mentari
dari fajar merekah hingga berganti sang dewi malam
yang menghadirkan gelap gulita yang menyelimuti pondokku,
daku kan tetap disini. Sampai jumpa duhai kau sahabat kerinduanku.
Jumat, 23 Desember 2011
PENANTIAN DI UJUNG SUBUH
Jiwaku
terbaring menatap awan putih yang berarak-arakan mengiringi mereka yang
berjalan di tanah yang bernyawa. Di atas rumput yang sedari tadi menahan
punggung dan pundakku yang hendak berdiri di atasnya, mataku dipaksa melihat
apa yang terjadi di atas sana. Ku perhatikan satu-persatu awan yang berjalan mengiringi
pengantin di atas sana, dan tak ada satu pun dari mereka yang menghardikku.
Anak-anak angin pun tak ingin ketinggalan. Mereka berlari berkeliaran di antara
jiwa-jiwa yang mengambang antara kehampaan dan kebisingan.
Lama
diriku terbaring di sini, hingga tanganku tak terasa lagi akan sentuhanNya.
Mataku menggeliat tak karuan, dan ia bebas berkeliaran di antara pikiran dan
anganku. Dan seketika pikiranku terhenti pada suatu pondok yang usianya hampir
keriput seperti pemiliknya. Mataku tertuju pada anak kecil yang duduk di depan
jendela gubuk itu yang sedang menatap tetes hujan yang berjatuhan menusuki
tanah yang tak berkutik. Entah apa yang menyelimuti angannya, yang jelas anak
itu memeliki suatu beban yang menggantungi nalarnya. Dan saya tahu persis
hari-harinya selalu diliputi dengan keburaman. Di waktu itu ia hanya berteman
dengan perempuan yang renta, yang menjadi pelipur lara dikala ia meringkik,
menjadi sang penghapus dahaga dikala ia merindu kasih, menjadi penerang dikala
ia tersesat dalam lubang kehampaan.
Anak
kecil itu sudah beberapa bulan di tinggal oleh ke dua orang tuanya yang pergi
ke kota untuk menyembuhkan penyakit yang mendera ayahnya. Ayahnya memiliki
penyakit yang belum di ketahui, tapi menurut doktor ayahnya terkena radang
paru-paru. Namun, lain lagi yang di katakan oleh beberapa dukun, ayahnya
dikatakan telah diteluh oleh seseorang yang memang sudah bermasalah dengan
ayahnya.
Anak
itu bermata sipit, memiliki hidung yang menjulang tinggi membelah awan hitam,
bibir yang tak begitu lebar dengan dagu yang terbelah, pipi yang sedikit
memperlihatkan ketajamannya terhadap kehidupan, dan alis yang begitu menyeruat
hingga semut pun dapat terseset jika menelusurnya. Bertubuh kecil, berkulit
hitam yang menyelimuti seluruh jiwanya, dengan sedikit daging yang menempel
dari tulang yang kelihatan kerakusannya.
Saya
kembali menatap langit yang menghadirkan subuh yang hendak merekah dari
kuncupnya. Laki-laki kecil dan wanita renta itu sedang menikmati alam mimpi
pada sebuah kamar yang tak begitu luas dan sedikit nyaman untuk seukuran pondok
yang sudah keriput. Didalam kamar terdapat kasur kapuk dan bantal guling yang berlukiskan
wajah kepenatan hari. Tiba-tiba, samar-samar terdengar pada telinga laki-laki
keci itu seseorang yang memanggil wanita tua yang berada di sampingnya. Namun,
karena terbawa arus mimpi, laki-laki kecil itu tidak begitu menggubris apa yang
di tangkap telinganya. Sesaat wanita tua renta itu membuka matanya dan segera
berangkat dari kasur yang menghangatkan tubuhnya yang sudah goyah. Dengan
gontainya ia berdiri merangkak dari kasur menuju suara yang di tangkap
telinganya. Treeeeeeeetttttt.................... terdengar suara pintu di buka.
Dan ketika itu..........
Mataku
berembun, dan tidak lama kemudian embun itu merekah dan melahirkan tetes embun
yang begitu pelannya mengalir disetiap jengkal pipiku yang tajam. Bibirku pun
tak dapat menahannya. Yang ku rasa hanyalah hampa, kesendirian, kepengapan
hidup, dan penantian yang berujung duka.
Angin
terhenti, subuh terasa panjang, kedinginan menyelimuti qalbu, embun pagi tlah
berjatuhan, dan mentari tak kan dapat menghangatkan lagi. Terasa sekali
berjuta-juta jarum menusuki hati yang kecil. Apa yang di inginkaNya? Nafasku
tak mampu lagi bergerak mengaliri tubuhku.
Subuh
ini memanggilku dengan kebengisannya. Menundukkan dedaunan yang sedari dulu
berdiri tegak. Kuharap mentari tak kan lahir, dan aku takkan berhenti
menuangkan anggur yang telah kau teteskan.
Kakiku
melangkah sendiri, tak ada angin yang mengiringi, mereka menjauh dariku. Aku terhenyak
ketika wanita tua itu bertutur padaku. Oh tuhan, aku ingin mendekapnya sekali
lagi, aku ingin melihat senyumnya, aku ingin melihat matanya, aku ingin
mengecup keningnya, aku ingin ia selalu membacakan dongeng untukku.
Tuhan,
sanggupkah kakiku melangkah, sanggupkah diriku bertemu dengannya, sanggupkah
aku mengulurkan tanganku untuknya.
Kini,
tak kan ada lagi senyummu, tak kan ada lagi dongengmu, tak kan ada lagi jiwa
yang menerangi langkahku. Syair kematianmu kan bersemayam dalam qalbuku, dan
qalbuku kan melantunkan tuturmu yang gentayangan dalam asaku.
Wanita
renta itu bertutur dengan lantang yang melahirkan tetesan embun yang merekah
dari cahaya yang redup, dan anak kecil itu hanya mampu terdiam, diam yang
menyimpan sejuta kata yang hendak menyeruak membelah belantara jiwanya yang
bergemuruh bak badai yang menerjang tubuhnya yang mungil itu.
“Ayahmu
tlah meninggal”.................
Penantianku
sirna. Dalam embun pagi diriku mendekap sekuntum tangis. Aku menunggu pelangi
itu mekar dari badai, tapi yang ada hanyalah gulungan ombak dari samudra yang
menghantam dan menerjang tubuh yang mungil. Ku sadari pelangi itu tak kan dapat
ku lihat kembali, karna badai telah mengambil semuanya. Tak ada yang tersisa,
terkucuali qalbu yang mengecut, mengering, dan pecah berhamburan di atas subuh
yang memudar. Tanganku tak mampu meraih puing-puing qalbukku yang terhempas,
kakiku tak mampu berdiri tegar menghadang hempasan angin, dan mataku tak mampu
menahan kepedihan yang mendalam.
Tersentak
jiwaku dalam buaian nirwana, dan mentari yang menyerang mataku dengan sinarnya
membuatku tersadar bahwa dunia kita telah berbeda. Aku kembali dalam duniaku,
dan engkau, pelangiku, tetaplah dalam jiwa yang merindumu.
Ayah,
embun di subuh merekah kan mekar kembali, dan genggamlah mentari yang kan
bersinar. Kaki ini kan terus melangkah mengiringi nisanmu yang mengering,
melalui dedaunan yang jatuh pada pusarmu, aku kan mengirim do’aku untukmu.
Dampingilah aku dalam buaian tidurmu, maka kan kau tunjukkan diriku jalan
menuju pintumu.
By Aang Adyta
Kamis, 22 Desember 2011
MATA
mata itu mata yang pilu
mta yang menyentuh kudukku
mata yang penuh ratapan kebisuan yang hampa
mata yang penuh cinta yang tak terangkul
mata yang tetap melangkah dalam kesendirian
mata yang merajut kepiluan yang menyayat qalbu
kepada tangan berpeluh yang diujung kematian
kepada mata pengharapan yang meninggi di atas ubun
kepada seraut angan yang bersuka cita
peganglah diriku dengan mata yang redup
rasakanlah getaran melodi kepedihanku
rasakanlah alunan nada yang menguras peluhmu
rasakanlah pelangi yang terusik
pedih tanganmu membasuh debu
remuk sendimu meringis rindu
lirih nafsumu meraup pilu
gontai sukmamu menjelma qalbu
dunia tak kan selamanya menangis saudaraku
air telah turun dari atas sana, dan kita kan tetap dalam menengadah padanya.
mta yang menyentuh kudukku
mata yang penuh ratapan kebisuan yang hampa
mata yang penuh cinta yang tak terangkul
mata yang tetap melangkah dalam kesendirian
mata yang merajut kepiluan yang menyayat qalbu
kepada tangan berpeluh yang diujung kematian
kepada mata pengharapan yang meninggi di atas ubun
kepada seraut angan yang bersuka cita
peganglah diriku dengan mata yang redup
rasakanlah getaran melodi kepedihanku
rasakanlah alunan nada yang menguras peluhmu
rasakanlah pelangi yang terusik
pedih tanganmu membasuh debu
remuk sendimu meringis rindu
lirih nafsumu meraup pilu
gontai sukmamu menjelma qalbu
dunia tak kan selamanya menangis saudaraku
air telah turun dari atas sana, dan kita kan tetap dalam menengadah padanya.
By Aang Adyta
Jendela KamarKu
Jendela kecil membuka jalan mataku.
cahaya rembulan tersesat mencari kekasihnya dibalik tirai kamarku.
Di sini ia menemukan kehampaan duniaku.
dan duniaku hendak bersembunyi di balik kepengapan malamku.
kamarku tetap tersenyum pada rembulan itu.
.
seketika di kamar ini ia menemukan masa laluku dibawah ranjangku.
dan aku terperongak kosong membasuh asaku akan dunia kecilku yang sunyi.
rembulan pun memeras air mata sendu karna terhalangi awan hitam yang membawa duka bagiku.
dan ayahku menatap kosong dalam kamar sesak ini lewat langit kamarku.
dan ibu pun terhenyak dalam kediaman yang membuai mesra telapak kakinya.
dan aku pun masih tetap terbaring di kasur yang goyah kan duniamu dan duniaku ini.
By Aang Adyta
Langganan:
Postingan (Atom)